BAB 12 PERLINDUNGAN KONSUMEN
12.1. Pengertian
Konsumen
Perlindungan
konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan
terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan
tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
12.2. Azas
dan Tujuan
Asas
perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima
asas, yaitu:
a.
Asas
Manfaat
Adalah segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.
Asas
Keadilan
Adalah memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.
Asas
Keseimbangan
Adalah memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil maupun spiritual.
d.
Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Adalah untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan pada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas Kepastian Hukum
Adalah baik pelaku
maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Menurut
pasal 3 tentang Perlindungan Konsumen, bertujuan:
a. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan atau jasa.
c. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen.
d. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan
kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
UU
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Republik
Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang
atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya; dan sebagainya.
12.3. Hak
Dan Kewajiban Konsumen
Berdasarkan
pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen
antara lain sebagai berikut:
a.
Hak
Konsumen
1. Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau
jasa.
2. Hak
untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa.
3. Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang dan jasa.
4. Hak
untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
5. Hak
untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan secara patut.
6. Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak
untuk diperlakukan secara benar dan jujur.
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau
jasa yang diterima tidak sesuai.
9. Hak-hak
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
b.
Kewajiban
Konsumen
1. Membaca,
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian.
2. Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti
upaya penyesuaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
12.4. Hak
Dan Kewajiban Perilaku Usaha
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
a. Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
c. Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
d. Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupkan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila
dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak
bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Kewajiban-kewajiban
pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab
pelaku usaha.
12.5. Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Adapun
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu:
1. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang dan atau jasa yang:
a. Tidak
sesuai dengan:
§ Standar
yang dipersyaratkan;
§ Peraturan
yang berlaku;
§ Ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b. Tidak
sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai
barang dan atau jasa yang menyangkut:
§ Berat
bersih;
§ Isi
bersih dan jumlah dalam hitungan;
§ Kondisi,
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
§ Mutu,
tingkatan, komposisi;
§ Proses
pengolahan;
§ Gaya,
mode atau penggunaan tertentu;
§ Janji
yang diberikan.
c. Tidak
mencantumkan:
§ Tanggal
kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan paling baik atas
barang tertentu;
§ Informasi
dan petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
d. Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
e. Tidak
memasang label atau membuat penjelasan yang memuat:
§ Nama
barang;
§ Ukuran,
berat atau isi bersih, komposisi;
§ Tanggal
pembuatan;
§ Aturan
pakai;
§ Akibat
sampingan;
§ Nama
dan alamat pelaku usaha;
§ Keterangan
penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
f. Rusak,
cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
2. Dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan atau jasa:
a. Secara
tidak benar dan atau seolah-olah barang tersebut:
§ Telah
memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga atau harga khusus, gaya atau
mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
§ Dalam
keadaan baik atau baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu,
merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b. Secara
tidak benar dan seolah-olah barang dan atau jasa tersebut:
§ Telah
mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
§ Dibuat
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
§ Telah
tersedia bagi konsumen.
c. Langsung
atau tidak langsung merendahkan barang dan atau jasa lain.
d. Menggunakan
kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko
atau efek samping tanpa keterangan lengkap.
e. Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
f. Dengan
harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak
melaksanakan.
g. Dengan
menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan
tetapi tidak sesuai dengan janji.
h. Dengan
menjanjikan hadiah barang dan atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
3. Dalam
menawarkan barang dan atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga
atau tarif dan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b. Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas barang dan atau jasa.
c. Kegunaan
dan bahaya penggunaan barang dan atau jasa.
4. Dalam
menawarkan barang dan atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang:
a. Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b. Mengumumkan
hasilnya tidak melalui media massa.
c. Memberikan
hadiah tidak sesuai janji dan atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5. Dalam
menawarkan barang dan atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun
psikis.
6. Dalam
hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan:
a. Menyatakan
barang dan atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan
tidak mengandung cacat tersembunyi.
b. Tidak
berniat menjual barang yang ditawarkan, melainkan untuk menjual barang lain.
c. Tidak
menyediakan barang dan atau jasa dalam jumlah tertentu atau cukup dengan maksud
menjual barang lain.
d. Menaikan
harga sebelum melakukan obral.
12.6. Klausula
Baku Dalam Perjanjian
Klausula
baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Memang
klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain
menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat
membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak
perjanjian atau kontrak sehari-hari kita selalu harus menegosiasikan syarat dan
ketentuannya. Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau
perjanjian, antara lain:
1. Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
3. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan atau jasa yang dibeli konsumen;
4. Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli konsumen secara angsuran;
5. Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
6. Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
7. Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan
oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana diatas telah dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku
usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang
bertentangan dengan undang-undang.
12.7. Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Hukum
tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum
tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat
apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat
bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan
kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah
Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang
lalu dalam perasuransian Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi
bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and
manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
Produk
secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang
(tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam
kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan
hanya tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti
listrik, produk alami (misalnya makanan binatang piaraan dengan jenis binatang
lain), tulisan (misalnya peta penerbangan yang diproduksi secara massal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (misalnya rumah). [1] selanjutnya,
termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang
sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung
jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the
liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to
the person or property of a buyer third party, caused by product which has been
sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: the liability of the
manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person
injured by the use of product. [2]
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab
secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (Processor, assembler) atau orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan
dilihat dari konvensi tentang product liability diatas, berlakunya konversi tersebut
diperluas terhadap orang atau badan yang terlibat dalam rangkaian komersial
tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel
dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan
usaha diatas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat
sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian
badaniah, kematian maupun harta benda.
Seperti
dikemukakan diatas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang
diatur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata.
Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen
menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir,
distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa
kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.
Kesulitan
tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang
dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan
kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan
yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika
Serikat diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability
principle).
Dengan
diterapkannya prinsip tenggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat
menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur
kesalahan dipihak produsen.
12.8. Sanksi
1. Sanksi-Sanksi
Pelaku Usaha
Sanksi bagi pelaku
usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:
a. Sanksi
perdata
Ganti rugi dalam
bentuk:
v Pengembalian
uang
v Penggantian
barang
v Perawatan
kesehatan
v Pemberian
santunan
Ganti rugi diberikan
dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi administrasi:
Maksimal Rp 200.000.000
(Dua Ratus Juta Rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3),
20, 25
b. Sanksi
pidana
Kurungan:
v Penjara
5 tahun atau denda Rp 2.000.000.000 (Dua Milyar Rupiah) pasal 8, 9, 10, 13 ayat
(2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan pasal 18
v Penjara
2 tahun atau denda Rp 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah) pasal 11, 12, 13
ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain
(diluar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika
konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian. Hukuman tambahan,
antara lain:
v Pengumuman
keputusan hakim
v Pencabutan
izin usaha
v Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa
v Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa
v Hasil
pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat
BAB
13 ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
13.1. Pengertian
Pasar
monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu penjual yang
menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau
sering disebut sebagai “monopolis”. Sebagai penentu harga (price-maker),
seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan
jumlah barang yang akan di produksi; semakin sedikit barang yang diproduksi,
semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian,
penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila
penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha
mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
13.2. Azas
dan Tujuan
Azas
Pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang
(UU) persaingan usaha adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan
untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang
cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari
UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
13.3. Kegiatan
Yang Dilarang
Dalam
UU No.5/1999, kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 ampai dengan pasal
24. Undang-undang ini tidak memberikan definisi kegiatan, seperti halnya
perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas, tindakan secara sepihak.
Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka
dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun
kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut yaitu:
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar
dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai
pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal, sementara
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual
jumlahnya banyak.
3. Penguasaan
Pasar
Di dalam UU No. 5/1999
Pasal 19, bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat yaitu:
a. Menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar yang bersangkutan;
b. Menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. Membatasi
peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. Melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
(pasal 1 angka 8 UU No. 5/1999)
5. Posisi
Dominan
Artinya pengaruhnya
sangat kuat, dalam pasal 1 angka 4 undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan
posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang
dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya
dipasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses
pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan
permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan
Rangkap
Dalam pasal 26
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan
sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan
dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7. Pemilikan
Saham
Berdasarkan pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki
saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha
dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa
perusahaan yang sama.
8. Penggabungan,
Peleburan, dan Pengambil Alihan
Dalam pasal 28
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan
hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat
tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
13.4. Perjanjian
Yang Dilarang
a. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan
produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau
seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
b. Penetapan
harga
Dalam rangka
penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:
1. Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.
2. Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama.
3. Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk meneteapkan harga di bawah harga pasar.
4. Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan
atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang
diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
c. Pembagian
wilayah
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
d. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang
untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi
pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.
e. Kartel
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa.
f. Trust
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hdup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang tujuannya untuk mengontol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa.
g. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau
lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang dan atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
h. Integrasi
vertikal
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai
produksi sejumlah produk termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau
proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
i.
Perjanjian tertutup
Pelaku usha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu.
j.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
13.5. Hal-Hal
Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal
yang dilarang oleh undang-undang anti monopoli adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian-perjanjian
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
a. Oligopoli
b. Penetapan
harga
c. Pembagian
wilayah
d. Pemboikotan
e. Kartel
f. Trust
g. Oligopsoni
h. Integrasi
vertikal
i.
Perjanjian tertutup
j.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Monopoli
b. Monopsoni
c. Penguasaan
pasar
d. Persekongkolan
3. Posisi
dominan, yang meliputi:
a. Pencegahan
konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
b. Pembatasan
pasar dan pengembangan teknologi
c. Menghambat
pesaing untuk bisa masuk pasar
d. Jabatan
rangkap
e. Pemilikan
saham
f. Merger,
akuisisi, konsolidasi
13.6. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi
pengawas persaingan usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
13.7. Sanksi
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih dipasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1)
pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4, pasal 9 sampai dengan pasal 14, pasal
16 sampai dengan pasal 19, pasal 25, pasal 27, dan pasal 28 di ancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (Dua Puluh Lima Milyar Rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000 (Seratus Milyar Rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)
pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 8, pasal 15, pasal
20 sampai dengan pasal 24, dan pasal 26 Undang-Undang ini di ancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000 (Lima Milyar Rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp 25.000.000.000 (Dua Puluh Lima Milyar Rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)
pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 Undang-Undang ini di ancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000 (Satu Milyar Rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp 5.000.000.000 (Lima Milyar Rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dalam
menunjuk ketentuan pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana, terhadap pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pencabutan
izin usaha; atau
b. Larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. Penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada
pihak lain.
Aturan ketentuan
di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas
siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks
pidana.
BAB 14 PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI
14.1. Pengertian
Sengketa
Sengketa
adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi
salah satu diantara keduanya.
14.2. Cara-Cara
Penyelesaian Sengketa
Sengketa
dapat diselesaikan dengan berbagai cara diantaranya:
a. Negosiasi
b. Mediasi
c. Arbitrasi
d. Konsiliasi
e. Enquiry
(penyelidikan)
f. Pengadilan
14.3. Negosiasi
Negosiasi
adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihak lawan
dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan
kedua belah pihak.
14.4. Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian.
14.5. Arbitrase
Arbitrase
adalah kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
14.6. Perbandingan
Antara Perundingan, Arbitrase, Dan Ligitasi
Perbedaan
antara perundingan, arbitrase, dan ligitasi ialah sebagai berikut:
- Perundingan ialah tindakan atau proses
menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima.
-
Arbitrase merupakan kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
- Ligitasi adalah proses dimana seorang
individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan
penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
Jadi
perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu penyelesaian
pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua
belah pihak yang bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di gunakan jika
kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada oleh sebab itu
memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan
dengan menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka membutuhkan hokum atau
pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar