Rabu, 01 April 2015

Aspek Hukum dalam Ekonomi


Materi 1: Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi

1.1      Pengertian Hukum
Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Berikut ini definisi hokum menurut para ahli:
a.    Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam “De Legibus”
Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

b.    Hugo Gratius (Hugo de Grot) dalam “De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625:
Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.

c. J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH mengakatan bahwa:
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.

d.    Thomas Hobbes dalam “Leviathan”, 1651:
Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.

e.    Rudolf von Jhering dalam “Der Zweck Im Recht” 1877-1882:
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara.

f.    Plato
Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun  baik yang mengikat masyarakat.

g.    Aristoteles
Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

h.    E. Utrecht
Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suat masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.

i.     R. Soeroso, SH
Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

j.     Abdulkadir Muhammad, SH
Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

k.   Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15) :
Pengertian Hukum yang menandai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (Institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Kesimpulan yang didapatkan dari apa yang dikemukakan oleh para ahli diatas, bahwa ilmu hukum pada dasarnya adalah menghimpun dan mensistematisasi bahan-bahan hukum dan memecahkan masalah-masalah.

1.2      Tujuan Hukum dan Sumber-sumber Hukum
Tujuan Hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
Sumber Hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa yakni aturan-aturan yang apabila dilanggar menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
a.    Sumber-sumber Hukum Material
Dalam sumber hukum material dapat ditinjau dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dsb. Contohnya:
1.    Seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2.   Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

b.    Sumber Hukum Formal
1.    Undang-Undang (Statute)
Ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
2.    Kebiasaan (Costume)
Ialah suatu perbuatan manusia uang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal sama. Apabila suatu kebiasaan tersebut diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbul suatu kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
3.    Keputusan Hakim (Jurisprudentie)
Dari ketentuan pasal 22A.B ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
1.    Traktat (Treaty)
2.    Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

1.3      Kondifikasi Hukum
Kondifikasi Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas:
a.    Hukum Tertulis (Statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan berbagai peraturan-peraturan.

b.    Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis. Namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (Hukum Kebiasaan).

Menurut teori ada 2 macam kondifikasi hukum, yaitu:
a.    Kondifikasi Terbuka
Adalah kondifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan diluar induk kondifikasi. “Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan.”

b.    Kondifikasi Tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukkan ke dalam kondifikasi atau buku kumpulan peraturan.

1.4      Kaidah/Norma
Norma Hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah. Sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).

1.5      Pengertian Ekonomi dan Hukum Ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan.
Hukum Ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal).
b.   Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal hukum perburuhan dan hukum perumahan).
Contoh hukum ekonomi:
1.    Jika harga sembako atau Sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hypermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada disekitarnya akan kehilangan omset atau gulung tikar.
3.    Jika nilai kurs dollar Amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar Negeri akan bangkrut.
4.    Turunnya harga elpiji/1kg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam Negeri maupun luar Negeri.
5.    Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.

Demikianlah penjelasan tentang hukum ekonomi secara keseluruhan semoga kita semua dapat mengerti dan dapat mengimplementasikan ke dalam kehidupan nyata.
Sumber referensi:


Materi 2: Subyek dan Obyek Hukum

2.1      Subyek Hukum
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Subyek hukum terdiri dari Orang dan Badan Hukum.
Subyek Hukum dibagi 2 jenis, yaitu:
1.    Subyek Hukum Manusia (Orang)
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subyek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Selain itu juga ada manusia yang tidak dapat dikatakan sebagai subyek hukum, seperti:
a.    Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.
b.    Orang yang berbeda dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan Hukum, ialah:
a.    Orang yang belum dewasa
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, dan orang boros.
c.    Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).

2.    Subyek Hukum Badan Usaha
Adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subyek hukum, badan usaha mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu:
a. Memiliki kewajiban yang terpisah dari kekayaan anggotanya.
b.  Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum sebagai subyek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Badan Hukum Publik, seperti Negara, propinsi, dan kabupaten.
b.  Badan Hukum Perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.

2.2      Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subyek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Objek hukum dapat berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat dimiliki serta bernilai ekonomis.
Jenis obyek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.    Benda Bergerak
Adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah/berwujud.

2.    Benda tidak Bergerak
Adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan paten, dan ciptaan musik/lagu.

2.3      Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan Hutang (Hak jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wanprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian). Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit). Perjanjian hutang piutang dalam KUHP tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Macam-macam pelunasan hutang dalam pelunasan hutang adalah terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum dan jaminan yang bersifat khusus:
1.    Jaminan Umum
Pelunasan hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain:
a.  Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
b.   Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.

2.    Jaminan Khusus
Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik dan lain-lain.
a.    Gadai
Dalam pasal 1150 KUH Perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang. Selain itu memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu didahuluka. Sifat-sifat gadai yakni:
a. Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
b.    Gadai bersifat accessoir.

b.    Hipotik
Hipotik berdasarkan pasal 1162 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan  suatu perhutangan (verbintenis). Sifat-sifat hipotik yakni:
1.    Bersifat accessoir
2.  Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit desuite), yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada dalam pasal 1163 ayat 2 KUH Perdata.
3.   Lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain (droit de preference) berdasarkan pasal 1133-1134 KUH Perdata.
4.    Obyeknya benda-benda tetap.

Sumber referensi:


Materi 3: Hukum Perdata

3.1      Sejarah Singkat Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari Negara-negara di Eropa, oleh karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidak puasan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”, karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian dari Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jemonia dan Hukum Cononiek.
Mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wessel, asuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (Jaman baru sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Prancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland).
Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodefikasi dari Hukum Perdatanya. Tepatnya tanggal 5 Juli 1830 kodefikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van Koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Pada tahun 1948, kedua Undang-undang Produk Nasional Nederland ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek Van Koophandle).

3.2      Pengertian dan Keadaan Hukum di Indonesia
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata adalah hokum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk Hukum Privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan Hukum Sipil, tapi oleh karena perkataan Sipil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan adalah Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan Hukum Privat materiil (Hukum Perdata materiil).
Pengertian dari Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain didalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, dikenal juga Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu  dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek dilingkungan pengadilan perdata.
Didalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.

Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
1.  Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia, karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
2.    Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
a.    Golongan Eropa dan yang dipersamakan.
b.  Golongan Bumi Putera (pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c.    Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).

Dan pasal 131.I.S yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163.I.S diatas.
Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
a.    Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku hukum perdata dan hukum dagang barat yang diselaraskan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
b.    Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia asli) dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku dikalangan rakyat, dimana sebagian besar dari Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
c.    Bagi golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Maksudnya, untuk segala golongan warga Negara berlainan satu dengan yang lain. Dapat dilihat:
a.    Untuk Golongan Bangsa Indonesia Asli
Berlaku hukum adat yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku dikalangan rakyat, hukum yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat mengenai segala hal di dalam kehidupan kita dalam masyarakat.
b.  Untuk golongan warga Negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa.
Berlaku kitab KUHP Burgerlijk Wetboek) dan KUHD (Wetboek Van Koophandel), dengan suatu pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa ada suatu penyimpangan, yaitu pada bagian 2 dan 3 dari TITEL IV dari buku tentang:
-      Upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai penahanan pernikahan. Hal ini tidak berlaku bagi golongan Tionghoa. Karena pada mereka diberlakukan khusus yaitu Burgerlijke Stand, dan peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi).
Selanjutnya untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropah (antara lain Arab, India dan lainnya) berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai Hukum Kekayaan Harta Benda (Vermorgensrecht), jadi tidak menganai Hukum Kepribadian dan Kekeluargaan (Personen en Familierecht) maupun yang mengenai Hukum Warisan.
Untuk memahami keadaan Hukum Perdata di Indonesia perlulah kita mengetahui riwayat politik pemerintah Hindia Belanda terlebih dahulu terhadap Hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131 (I.S) (Indische Staatregeling) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
1.    Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodefikasi).
2.    Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas konkordansi).
3.   Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
4.    Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya menganai suatu perbuatan tertentu saja.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam undang-undang, maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Berdasarkan pedoman diatas, di jaman Hindia Belanda itu telah ada beberapa peraturan Undang-undang Eropa yang telah dinyatakan berlaku untuk bangsa Indonesia Asli, seperti pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu perihal:
a.    Perjanjian kerja perburuhan: (staatsblat 1879 no 256)
b. Pasal 1788-1791 BW perihal hutang-hutang dari perjudian (straatsblad 1907 no 306)
c.    Dan beberapa pasal dari WVK (KUHD) yaitu sebagian besar dari Hukum Laut (straatsblad 1933 no 49).
Ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
a.  Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen (staatsblad 1933 no 74).
b.    Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717).
Ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara, yaitu:
a.    Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
b.    Peraturan Umum tentang Koperasi (Staasblad 1933 no 108)
c.    Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
d.  Ordonansi tentang pengangkutan di udara (staatsblad 1938 no 98).

3.3      Sistematika Hukum Perdata di Indonesia
Sistematika Hukum Perdata (BW) ada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku undang-undang berisi:
a.    Buku I         : berisi mengenai orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
b.    Buku II       : berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
c.    Buku III     : berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d.    Buku IV      : berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.

Pendapat pembentuk undang-undang (BW), Buku I mengenai orang, Buku II mengenai benda, Buku III mengenai perikatan, Buku IV mengenai pembuktian.
Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum/Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1.    Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

2.    Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
§  Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.

3.    Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiban orang itu dinilaikan dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebenaran.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
a.    Hak seorang pengarang atas karangannya.
b.    Hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.

4.    Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Jadi, pendapat menurut Ilmu Hukum/Hukum Doktrin terbagi menjadi 4, yaitu: hukum pribadi, hukum kekeluargaan, hukum kekayaan, dan hukum warisan.

Sumber:




Materi 4: Hukum Perikatan

4.1      Pengertian
Hukum Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Didalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebabasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Didalam perikatan ada perikatan yang berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang bersifat positif, halal dan tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

4.2      Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang.
3.   Perikatan yang terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
Sumber perikatan berdasarkan Undang-Undang:
1.  Perikatan (pasal 1233 KUH Perdata): perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.    Persetujuan (pasal 1313 KUH Perdata): suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.    Undang-undang (pasal 1352 KUH Perdata): perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

4.3      Asas-asas dalam Hukum Perikatan
1.  Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (pasal 1338 KUH Perdata).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a.    Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b.    Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
c.    Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
d.    Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par I’homme.

2.  Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara konstan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3.  Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servenda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

4.  Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5.  Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

4.4      Wonprestasi dan Akibat-akibatnya
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu:
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.    Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.    Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni:
·        Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
·  Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si kreditor.
·        Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.    Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Didalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3.    Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.

4.5      Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
a.    Pembayaran
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi)
c.    Pembaharuan utang (novasi)
d.    Perjumpaan utang atau kompensasi
e.    Percampuran utang (konfusio)
f.    Pembebasan utang
g.    Musnahnya barang terutang
h.    Batal/pembatalan
i.     Berlakunya suatu syarat batal
j.     Dan lewatnya waktu (daluarsa)

Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya dipengadilan.
Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan ditempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang, yakni:
1.    Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2.  Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
3.   Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).

Kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio adalah pencampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar