Materi 1: Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi
1.1
Pengertian Hukum
Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem
aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Berikut ini definisi hokum menurut para ahli:
a.
Menurut Tullius Cicerco
(Romawi) dalam “De Legibus”
Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh
alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan.
b. Hugo Gratius (Hugo de Grot) dalam “De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625:
Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang
mewajibkan apa yang benar.
c. J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH
mengakatan bahwa:
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
d. Thomas Hobbes dalam “Leviathan”,
1651:
Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang
memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang
lain.
e. Rudolf von Jhering dalam “Der
Zweck Im Recht” 1877-1882:
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa
yang berlaku dalam suatu Negara.
f. Plato
Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur
dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat.
g. Aristoteles
Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak
hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
h. E. Utrecht
Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup-perintah
dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suat masyarakat yang seharusnya
ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk
hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.
i. R. Soeroso, SH
Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
j. Abdulkadir Muhammad, SH
Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis
yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
k. Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15) :
Pengertian Hukum yang menandai harus tidak hanya
memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga
(Institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.
Kesimpulan
yang didapatkan dari apa yang dikemukakan oleh para ahli diatas, bahwa ilmu
hukum pada dasarnya adalah menghimpun dan mensistematisasi bahan-bahan hukum
dan memecahkan masalah-masalah.
1.2
Tujuan Hukum dan Sumber-sumber Hukum
Tujuan Hukum adalah
untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus pula bersendikan
pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
Sumber Hukum adalah
segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat memaksa yakni aturan-aturan yang apabila dilanggar menimbulkan sanksi
yang tegas dan nyata.
a.
Sumber-sumber Hukum Material
Dalam sumber hukum material dapat ditinjau dari
berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dsb.
Contohnya:
1.
Seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa
kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan
mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat.
b.
Sumber Hukum Formal
1.
Undang-Undang (Statute)
Ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai
kekuasaan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
2.
Kebiasaan (Costume)
Ialah suatu perbuatan manusia uang tetap dilakukan
berulang-ulang dalam hal sama. Apabila suatu kebiasaan tersebut diterima oleh
masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa,
sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai
pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbul suatu kebiasaan hukum
yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
3.
Keputusan Hakim (Jurisprudentie)
Dari ketentuan pasal 22A.B ini jelaslah, bahwa
seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan
suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak
memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka
hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
1.
Traktat (Treaty)
2.
Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
1.3
Kondifikasi Hukum
Kondifikasi Hukum adalah pembukuan
jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan
lengkap.
Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat
dibedakan atas:
a. Hukum Tertulis (Statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan berbagai
peraturan-peraturan.
b. Hukum Tak Tertulis
(unstatutery law,
unwritten law), yaitu hukum yang
masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis. Namun berlakunya
ditaati seperti suatu peraturan perundangan (Hukum Kebiasaan).
Menurut teori ada 2 macam kondifikasi hukum,
yaitu:
a.
Kondifikasi Terbuka
Adalah kondifikasi yang membuka diri terhadap
terdapatnya tambahan-tambahan diluar induk kondifikasi. “Hukum dibiarkan
berkembang menurut kebutuhan masyarakat hukum disini diartikan sebagai
peraturan.”
b.
Kondifikasi Tertutup
Adalah semua hal
yang menyangkut permasalahannya dimasukkan ke dalam kondifikasi atau buku
kumpulan peraturan.
1.4
Kaidah/Norma
Norma Hukum adalah aturan sosial yang dibuat
oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah. Sehingga dengan tegas dapat
melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan
pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi
denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
1.5
Pengertian Ekonomi dan Hukum Ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku
manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah
adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan
alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian
menyebabkan timbulnya kelangkaan.
Hukum Ekonomi adalah suatu hubungan sebab
akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan
yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh
peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan
kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal).
b. Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh peraturan
dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi
secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal hukum perburuhan
dan hukum perumahan).
Contoh hukum ekonomi:
1. Jika harga sembako atau Sembilan bahan pokok
naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah
pusat pertokoan hypermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka
dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada disekitarnya akan kehilangan
omset atau gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar Amerika naik tajam
maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar Negeri akan
bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji/1kg akan menaikkan
jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam Negeri maupun luar Negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka
jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan
barang dan jasa secara umum.
Demikianlah penjelasan tentang hukum ekonomi
secara keseluruhan semoga kita semua dapat mengerti dan dapat
mengimplementasikan ke dalam kehidupan nyata.
Sumber referensi:
Materi 2: Subyek dan Obyek
Hukum
2.1
Subyek Hukum
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat
mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Subyek hukum terdiri
dari Orang dan Badan Hukum.
Subyek Hukum dibagi 2 jenis, yaitu:
1. Subyek Hukum Manusia (Orang)
Adalah setiap
orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.
Pada prinsipnya orang sebagai subyek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal
dunia. Selain itu juga ada manusia yang tidak dapat dikatakan sebagai subyek hukum,
seperti:
a. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa,
dan belum menikah.
b. Orang yang berbeda dalam pengampunan yaitu
orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
Menurut kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak
cakap untuk melakukan sendiri perbuatan Hukum, ialah:
a. Orang yang belum dewasa
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan
(curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, dan orang boros.
c. Orang perempuan dalam pernikahan (wanita
kawin).
2. Subyek Hukum Badan Usaha
Adalah suatu
perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu.
Sebagai subyek hukum, badan usaha mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh hukum yaitu:
a. Memiliki kewajiban yang terpisah dari
kekayaan anggotanya.
b. Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari
hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum sebagai
subyek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Badan Hukum Publik, seperti Negara, propinsi,
dan kabupaten.
b. Badan Hukum Perdata, seperti perseroan
terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.
2.2
Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang
bermanfaat bagi subyek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum.
Objek hukum dapat berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat dimiliki
serta bernilai ekonomis.
Jenis obyek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH
Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Benda Bergerak
Adalah suatu
benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera,
terdiri dari benda berubah/berwujud.
2. Benda tidak Bergerak
Adalah suatu
benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian
dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan paten,
dan ciptaan musik/lagu.
2.3
Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan
Hutang (Hak jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan
hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang
memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan
jaminan jika debitur melakukan wanprestasi terhadap suatu prestasi
(perjanjian). Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak
jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian
pokoknya, yakni perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit). Perjanjian
hutang piutang dalam KUHP tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam
pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan
bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas
yang sama.
Macam-macam pelunasan hutang dalam pelunasan
hutang adalah terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum dan
jaminan yang bersifat khusus:
1. Jaminan Umum
Pelunasan hutang
dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132 KUH
Perdata. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur
baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak
merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan pasal
1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara
bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya. Pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya
piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan
sah untuk didahulukan. Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan
jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain:
a. Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat
dinilai dengan uang).
b. Benda tersebut dapat dipindah tangankan
haknya kepada pihak lain.
2. Jaminan Khusus
Pelunasan hutang
dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang
gadai, hipotik dan lain-lain.
a. Gadai
Dalam pasal 1150
KUH Perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas
suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain
atas namanya untuk menjamin suatu hutang. Selain itu memberikan kewenangan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu
didahuluka. Sifat-sifat gadai yakni:
a. Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud.
b. Gadai bersifat accessoir.
b. Hipotik
Hipotik
berdasarkan pasal 1162 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak
bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perhutangan (verbintenis). Sifat-sifat
hipotik yakni:
1. Bersifat accessoir
2. Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit desuite),
yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun
benda tersebut berada dalam pasal 1163 ayat 2 KUH Perdata.
3. Lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang
yang lain (droit de preference) berdasarkan pasal 1133-1134 KUH Perdata.
4. Obyeknya benda-benda tetap.
Sumber referensi:
Materi 3: Hukum Perdata
3.1
Sejarah
Singkat Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
Sejarah
membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas
dari Sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula
di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan hukum
kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai
hukum asli dari Negara-negara di Eropa, oleh karena keadaan hukum di Eropa
kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan
sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh
karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat
ketidak puasan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum,
kesatuan hukum dan keseragaman hukum.
Pada
tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu
kumpulan peraturan yang bernama “Code
Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”, karena Code Civil des Francais ini adalah
merupakan sebagian dari Code Napoleon.
Sebagai
petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli
hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga dipergunakan
Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jemonia dan Hukum Cononiek.
Mengenai
peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah
wessel, asuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (Jaman baru
sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri
dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan
dengan adanya penjajahan oleh bangsa belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk
Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon
Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber
Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah
berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Prancis pada
tahun 1811, Code Civil des Francais
atau Code Napoleon ini tetap berlaku
di Belanda (Nederland).
Oleh
karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda
(Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan
kodefikasi dari Hukum Perdatanya. Tepatnya tanggal 5 Juli 1830 kodefikasi ini
selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van
Koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya
sebagian besar sama dengan Code Civil des
Francais dan Code de Commerce.
Pada
tahun 1948, kedua Undang-undang Produk Nasional Nederland ini diberlakukan di
Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai
sekarang kita kenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek).
Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek Van Koophandle).
3.2
Pengertian dan Keadaan Hukum di Indonesia
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata adalah
hokum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas
meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan
dari Hukum Pidana.
Untuk Hukum Privat materiil ini ada juga yang
menggunakan dengan perkataan Hukum Sipil, tapi oleh karena perkataan Sipil juga
digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan adalah
Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan Hukum Privat materiil (Hukum
Perdata materiil).
Pengertian dari Hukum Privat (Hukum Perdata
Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar
perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang
bersangkutan. Dalam arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban
seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap
orang lain didalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, dikenal juga
Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses
perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana
caranya melaksanakan praktek dilingkungan pengadilan perdata.
Didalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum
Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.
Keadaan
Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di
Indonesia dapat kita katakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna.
Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
1. Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum
adat bangsa Indonesia, karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai
suku bangsa.
2. Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat
pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan.
b. Golongan Bumi Putera (pribumi/bangsa
Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India,
Arab).
Dan pasal 131.I.S yaitu mengatur hukum-hukum
yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163.I.S
diatas.
Adapun hukum yang diberlakukan bagi
masing-masing golongan yaitu:
a. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan
berlaku hukum perdata dan hukum dagang barat yang diselaraskan dengan hukum
perdata dan hukum dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
b. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia asli) dan
yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala
berlaku dikalangan rakyat, dimana sebagian besar dari Hukum Adat tersebut belum
tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
c. Bagi golongan Timur Asing (bangsa Cina,
India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi
Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukkan diri
kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam
tindakan hukum tertentu saja.
Maksudnya, untuk
segala golongan warga Negara berlainan satu dengan yang lain. Dapat dilihat:
a. Untuk Golongan Bangsa Indonesia Asli
Berlaku hukum
adat yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku dikalangan rakyat, hukum yang
sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan
rakyat mengenai segala hal di dalam kehidupan kita dalam masyarakat.
b. Untuk golongan warga Negara bukan asli yang
berasal dari Tionghoa dan Eropa.
Berlaku kitab
KUHP Burgerlijk Wetboek) dan KUHD (Wetboek Van Koophandel), dengan suatu
pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa ada suatu penyimpangan, yaitu pada
bagian 2 dan 3 dari TITEL IV dari buku tentang:
- Upacara yang mendahului pernikahan dan
mengenai penahanan pernikahan. Hal ini tidak berlaku bagi golongan Tionghoa. Karena
pada mereka diberlakukan khusus yaitu Burgerlijke
Stand, dan peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi).
Selanjutnya untuk golongan warga Negara bukan
asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropah (antara lain Arab, India dan
lainnya) berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai Hukum
Kekayaan Harta Benda (Vermorgensrecht), jadi tidak menganai Hukum Kepribadian
dan Kekeluargaan (Personen en Familierecht) maupun yang mengenai Hukum Warisan.
Untuk memahami keadaan Hukum Perdata di
Indonesia perlulah kita mengetahui riwayat politik pemerintah Hindia Belanda
terlebih dahulu terhadap Hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia
Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131 (I.S) (Indische
Staatregeling) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 RR
(Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana
beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab
undang-undang yaitu di kodefikasi).
2. Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut
perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas konkordansi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan
Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa
Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
4. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing,
sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan
bangsa Eropa penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara
hanya menganai suatu perbuatan tertentu saja.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia
ditulis didalam undang-undang, maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Berdasarkan pedoman diatas, di jaman Hindia
Belanda itu telah ada beberapa peraturan Undang-undang Eropa yang telah
dinyatakan berlaku untuk bangsa Indonesia Asli, seperti pasal 1601-1603 lama
dari BW yaitu perihal:
a. Perjanjian kerja perburuhan: (staatsblat 1879
no 256)
b. Pasal 1788-1791 BW perihal hutang-hutang dari
perjudian (straatsblad 1907 no 306)
c. Dan beberapa pasal dari WVK (KUHD) yaitu
sebagian besar dari Hukum Laut (straatsblad 1933 no 49).
Ada peraturan-peraturan yang secara khusus
dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
a. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen
(staatsblad 1933 no 74).
b. Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA)
staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717).
Ada pula peraturan-peraturan yang berlaku
bagi semua golongan warga Negara, yaitu:
a. Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun
1912)
b. Peraturan Umum tentang Koperasi (Staasblad
1933 no 108)
c. Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
d. Ordonansi tentang pengangkutan di udara
(staatsblad 1938 no 98).
3.3
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia
Sistematika Hukum Perdata (BW) ada dua
pendapat. Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku undang-undang berisi:
a. Buku I :
berisi mengenai orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum
kekeluargaan.
b. Buku II :
berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
c. Buku III :
berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik
antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d. Buku IV :
berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat
pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat pembentuk undang-undang (BW), Buku I
mengenai orang, Buku II mengenai benda, Buku III mengenai perikatan, Buku IV
mengenai pembuktian.
Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum/Doktrin
dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam
hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang
hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
§ Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum
kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak,
perwalian dan curatele.
3. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka
yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiban orang itu
dinilaikan dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak
yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan
hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja dan
karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu
benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebenaran.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan
atas suatu benda yang dapat terlihat.
a. Hak seorang pengarang atas karangannya.
b. Hak seseorang atas suatu pendapat dalam
lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk,
dinamakan hak mutlak saja.
4. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan
seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat
dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Jadi, pendapat menurut Ilmu Hukum/Hukum
Doktrin terbagi menjadi 4, yaitu: hukum pribadi, hukum kekeluargaan, hukum kekayaan,
dan hukum warisan.
Sumber:
Materi 4: Hukum Perikatan
4.1 Pengertian
Hukum Perikatan
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu.
Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Didalam
hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebabasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Didalam
perikatan ada perikatan yang berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan
yang bersifat positif, halal dan tidak melanggar undang-undang dan sesuai
dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
4.2 Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
2.
Perikatan yang timbul dari undang-undang.
3. Perikatan yang terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela (zaakwaarneming).
Sumber
perikatan berdasarkan Undang-Undang:
1. Perikatan (pasal 1233 KUH Perdata): perikatan
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
2. Persetujuan (pasal 1313 KUH Perdata): suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang (pasal 1352 KUH Perdata): perikatan
yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
4.3 Asas-asas dalam Hukum Perikatan
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini
mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun
juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (pasal 1338 KUH Perdata).
Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan
suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a.
Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b.
Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
c.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya.
d.
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis
atau lisan.
Latar
belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya.
Dalam hukum
kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair
in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan
intervensi di dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan
peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah
ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang
lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam
exploitation de homme par I’homme.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme
dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup
dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas
konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam
hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal
dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah
suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat
disebut secara konstan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian
yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik
maupun akta bawah tangan).
Dalam
hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servenda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
Asas
pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu
disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak
yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa
setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral
dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya
asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang
tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan
istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas
itikad baik tercantum dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad
yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan
serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian (Personality)
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan
atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat
dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.
Pasal
1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini
sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
4.4 Wonprestasi dan Akibat-akibatnya
Wanprestasi adalah tidak memenuhi
atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian
yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat
kategori dari wanprestasi, yaitu:
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya.
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana yang dijanjikan.
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
Akibat-akibat
wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur
(ganti rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur,
yakni:
·
Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan
yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
· Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si kreditor.
·
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Didalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah
diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3.
Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika
terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang
dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.
4.5 Hapusnya Perikatan
Pasal
1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara
tersebut adalah:
a.
Pembayaran
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan (konsignasi)
c.
Pembaharuan utang (novasi)
d.
Perjumpaan utang atau kompensasi
e.
Percampuran utang (konfusio)
f.
Pembebasan utang
g.
Musnahnya barang terutang
h.
Batal/pembatalan
i.
Berlakunya suatu syarat batal
j.
Dan lewatnya waktu (daluarsa)
Pembayaran dalam arti sempit adalah
pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan
dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti
yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti
jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi terjadi apabila seorang
kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih
menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya dipengadilan.
Novasi adalah sebuah persetujuan,
dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain
harus dihidupkan, yang ditempatkan ditempat yang asli. Ada tiga macam jalan
untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang, yakni:
1.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu
perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang
yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk
menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari
perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru,
seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa
si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio adalah pencampuran kedudukan sebagai orang yang berutang
dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur dalam suatu
testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin
dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar