Rabu, 06 Januari 2016

Tanjidor



Salah satu jenis musik Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa. Pada musik tanjidor alat musik yang paling banyak di mainkan adalah alat musik tiup, seperti klarinet, piston, trombone serta terompet. Jenis musik ini muncul pada abad ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Namun akhir-akhir ini musik tanjidor sering di tampilkan untuk menyambut tamu agung. Merupakan suatu ansambel musik yang namanya lahir pada masa penjajahan Hindia Belanda di Betawi (Jakarta). Kata “tanjidor” berasal dari kata dalam bahasa portugis tangedor, yang berarti “alat-alat musik berdawai”. Tetapi dalam kenyataannya, nama tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik dari tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata. Ansambel tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti clarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur).
Pemain-pemainnya terdiri dari 7 sampai 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik Eropa tersebut, untuk memainkan reportoir laras diatonik maupun lagu-lagu yang berlaras pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik. Karena gumuruhnya bahan perkusi dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempurna lagi memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama kelamaan menerimanya pula.
Para pemain tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa diluar kota Jakarta, seperti di daerah Tangerang, indramayu, dan lainnya. Dalam membawakannya, mereka tidak dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dari mana asal usulnya. Namun semua di terimanya secara aural dari orang-orang terdahulu. Dan kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik. Dengan demikian peralatan musik tanjidor yang ditemui kemudian tidak ada yang masih baru, kebanyakan semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
Pada zaman dahulu kala musim mengerjakan sawah, mereka menggantungkan alat-alat musik tanjidor dirumahnya begitu saja pada dinding gedeg atau papan, tanpa kotak pelindung. Setelah panen selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat kembali dengan alat-alat tanjidor mereka, untuk kemudian menunjukan kebolehannya bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam Kota Jakarta, Cirebon, melakukan pekerjaannya yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan ngamen atau mengamen. Musik tanjidor ini lazimnya akrab dengan perayaan Cina, Cap Co Meh; di Cirebon, terdapat pada jalan masuk kompleks masjid serta Makan Sunan Gunung Jati: merayakan hari besar Islam, atau hari sedekah bumi yang menjadi tradisi masyarakat petani di Cirebon. Diantara lagunya yang terkenal adalah Warung Pojok.
Diantara lagu-lagu lain yang sering dibawakan oleh orkes tanjidor , antara lain Kramton, Bananas, Cente Manis, Keramat Karam (Keramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dan lain-lain. Lagu keramat Karam lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan banyak korban. Lagu-lagu tersebut di mainkan atas dasar keinginan masyarakat kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan dianggap ‘lagu baru’ pada masa itu. Adapun lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda berirama mars.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar