Salah satu jenis
musik Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa. Pada musik tanjidor
alat musik yang paling banyak di mainkan adalah alat musik tiup, seperti
klarinet, piston, trombone serta terompet. Jenis musik ini muncul pada abad
ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk mengiringi perhelatan atau mengarak
pengantin. Namun akhir-akhir ini musik tanjidor sering di tampilkan untuk
menyambut tamu agung. Merupakan suatu ansambel musik yang namanya lahir pada
masa penjajahan Hindia Belanda di Betawi (Jakarta). Kata “tanjidor” berasal dari kata dalam bahasa
portugis tangedor, yang berarti “alat-alat musik berdawai”. Tetapi dalam
kenyataannya, nama tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari portugis
itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik dari tangedor, yakni sistem
diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata. Ansambel tanjidor terdiri dari
alat-alat musik seperti clarinet (tiup), piston (tiup),
trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal
(perkusi), dan side drums
(tambur).
Pemain-pemainnya
terdiri dari 7 sampai 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik Eropa
tersebut, untuk memainkan reportoir laras diatonik maupun lagu-lagu yang
berlaras pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang
terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada
peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik. Karena
gumuruhnya bahan perkusi dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempurna
lagi memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama
kelamaan menerimanya pula.
Para pemain
tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa diluar kota Jakarta, seperti di
daerah Tangerang, indramayu, dan lainnya. Dalam membawakannya, mereka tidak
dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka
ketahui dari mana asal usulnya. Namun semua di terimanya secara aural dari
orang-orang terdahulu. Dan kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan
bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik. Dengan demikian peralatan
musik tanjidor yang ditemui kemudian tidak ada yang masih baru, kebanyakan
semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
Pada zaman
dahulu kala musim mengerjakan sawah, mereka menggantungkan alat-alat musik
tanjidor dirumahnya begitu saja pada dinding gedeg atau papan, tanpa kotak
pelindung. Setelah panen selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat
kembali dengan alat-alat tanjidor mereka, untuk kemudian menunjukan kebolehannya
bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam
Kota Jakarta, Cirebon, melakukan pekerjaannya yang kemudian lebih di kenal
dengan sebutan ngamen atau mengamen. Musik tanjidor ini lazimnya akrab dengan
perayaan Cina, Cap Co Meh; di Cirebon, terdapat pada jalan masuk kompleks
masjid serta Makan Sunan Gunung Jati: merayakan hari besar Islam, atau hari
sedekah bumi yang menjadi tradisi masyarakat petani di Cirebon. Diantara
lagunya yang terkenal adalah Warung Pojok.
Diantara lagu-lagu
lain yang sering dibawakan oleh orkes tanjidor , antara lain Kramton, Bananas,
Cente Manis, Keramat Karam (Keramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dan
lain-lain. Lagu keramat Karam lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau
yang menelan banyak korban. Lagu-lagu tersebut di mainkan atas dasar keinginan
masyarakat kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan dianggap
‘lagu baru’ pada masa itu. Adapun lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda
berirama mars.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar